Tulisan untuk kamu.
Beberapa hari lalu, aku sempat mengingat kembali seberapa dekat kita dulu.
Merasakan rindu yang akhirnya meluap karena terlalu banyak ku tekan.
Gelap dan sepinya malam membuat segalanya melintas kembali di otakku.
Kemudian muncul pikiran untuk membaca chat history kita yang masih ku simpan di dalam laptop.
Bunuh diri memang. Tapi nyatanya itu yang ku lakukan.
Merasakan tiap bulir yang mulai membasahi pipiku satu-persatu.
Perlahan aku mulai merasa tak sanggup.
Hanya berbaring menatapi langit-langit kamar, kemudian membuatku berpikir semakin dalam.
Cahaya lampu yang hanya setitik membuatku merasa nyaman, sekaligus gelisah.
Aku menimbang-nimbang apalagi yang harus ku pertahankan.
Satu jawabanpun tak ku temui.
Nyatanya memang begitu, aku masih bertahan meski tak tahu apa yang harus ku pertahankan.
Aku hanya mempunyai keyakinan bahwa nanti kamu pasti akan mengerti.
Aku ingin bertahan hingga batas akhir sabarku.
Terlalu munafik jika aku mengatakan bahwa rasa itu sudah sepenuhnya punah.
Aku hanya tak mengerti bagaimana cara untuk mundur menyerah yang baik dan benar.
Aku tak tahu apakah di kejauhan sana kau juga merasa merinduku atau tidak.
Aku tak tahu apakah di kejauhan sana kau pernah memikirkan sedikit saja tentangku.
Dari sini, aku masih sering merindumu.
Mendengarkan semua lagu yang bisa membawaku untuk mengingatmu.
Mengingat-ngingat percakapan kita dulu.
Bahkan merasakan sapamu dalam mimpi.
Ini terlalu menyedihkan rasanya.
Namun rindu ini memang rindu terbesar yang begitu ingin ku luapkan.
Aku terlalu lelah untuk berlari lagi menjauhimu.
Maaf karena mungkin, rindu ini mengganggumu.
Atau mungkin, kau tak mau lagi aku merindukanmu.
Maaf terlalu lancang untuk memikirkanmu di setiap detikku.
Maaf terlalu lancang untuk membahasmu di setiap perbincanganku.
Maaf untuk semua mimpiku yang selalu memakai tokohmu.
Merasakan rindu yang akhirnya meluap karena terlalu banyak ku tekan.
Gelap dan sepinya malam membuat segalanya melintas kembali di otakku.
Kemudian muncul pikiran untuk membaca chat history kita yang masih ku simpan di dalam laptop.
Bunuh diri memang. Tapi nyatanya itu yang ku lakukan.
Merasakan tiap bulir yang mulai membasahi pipiku satu-persatu.
Perlahan aku mulai merasa tak sanggup.
Hanya berbaring menatapi langit-langit kamar, kemudian membuatku berpikir semakin dalam.
Cahaya lampu yang hanya setitik membuatku merasa nyaman, sekaligus gelisah.
Aku menimbang-nimbang apalagi yang harus ku pertahankan.
Satu jawabanpun tak ku temui.
Nyatanya memang begitu, aku masih bertahan meski tak tahu apa yang harus ku pertahankan.
Aku hanya mempunyai keyakinan bahwa nanti kamu pasti akan mengerti.
Aku ingin bertahan hingga batas akhir sabarku.
Terlalu munafik jika aku mengatakan bahwa rasa itu sudah sepenuhnya punah.
Aku hanya tak mengerti bagaimana cara untuk mundur menyerah yang baik dan benar.
Aku tak tahu apakah di kejauhan sana kau juga merasa merinduku atau tidak.
Aku tak tahu apakah di kejauhan sana kau pernah memikirkan sedikit saja tentangku.
Dari sini, aku masih sering merindumu.
Mendengarkan semua lagu yang bisa membawaku untuk mengingatmu.
Mengingat-ngingat percakapan kita dulu.
Bahkan merasakan sapamu dalam mimpi.
Ini terlalu menyedihkan rasanya.
Namun rindu ini memang rindu terbesar yang begitu ingin ku luapkan.
Aku terlalu lelah untuk berlari lagi menjauhimu.
Maaf karena mungkin, rindu ini mengganggumu.
Atau mungkin, kau tak mau lagi aku merindukanmu.
Maaf terlalu lancang untuk memikirkanmu di setiap detikku.
Maaf terlalu lancang untuk membahasmu di setiap perbincanganku.
Maaf untuk semua mimpiku yang selalu memakai tokohmu.
Comments
Post a Comment