Ribuan kata.
Duduk disebuah ruangan yang tak berisikan makhluk yang tak memperdulikanku memang indah rasanya. Hanya sendiri, merajut kata demi kata yang nantinya hanya menjadi tumpukan kertas yang akhirnya menjadi sampah. Menikmati secangkir kopi, rintik hujan, dan lagu yang terus memadu bersama setumpuk pikiran di kepala.
Lalu aku dengar seseorang mengetuk pintuku, dan sesaat setelah aku membukakan pintu, ku dengar satu suara menyapaku.
"Halo, aku pangeran dari negeri yang sangat amat jauh jaraknya dari sini. Aku sedang berjalan sendirian dan melihat rumah ini, aku pikir tak ada orang, karena disini sepi sekali, namun untuk memastikan maka aku mengetuk pintu. Ternyata ada orang di dalamnya." katanya menjelaskan dengan lugas, suaranya terdengar lembut dan nyaring di telingaku.
"Apa maumu kemari?" jawabku tegas, tak ingin terlarut dalam indah begitu saja.
"Boleh aku beristirahat sebentar disini?"
"Masuklah."
Entah apa yang terjadi, aku merasa luluh.
"Mau aku buatkan teh?"
"Jika tidak keberatan."
Aku pun kembali dengan secangkir teh di tanganku. Dia masih duduk di kursinya dengan tatapan menelusuri setiap sudut dirumahku. Namun aku tak bertanya, aku hanya membiarkannya mencari tahu apa yang ia inginkan.
Hari semakin malam, dan aku pun tak tega untuk menyuruh ia pergi menyusuri jalan yang aku tahu pasti diluar sangat sepi. Akhirnya aku membiarkannya terlelap di kamar yang bersebelahan dengan kamarku, di kamar yang tak pernah ditempati oleh siapapun. Jelas saja tak pernah ditempati, rumah ini hanya aku isinya, tak ada orang lain kecuali aku, bahkan aku sendiri pun tak mengerti mengapa aku membuat dua kamar di rumah yang hanya ada satu penghuninya.
Kami terlelap di kamar kami masing-masing. Aku masih dengan pikiranku yang menyelidiki.
Aku terbangun, mendengar suara yang menyuruhku untuk segera bangun. Biasanya, tak akan ada yang membangunkanku.
Ia terduduk di sudut kasurku. Aku pun segera bangun, menatapnya perlahan, mencerna agar aku tak memarahinya karena lupa bahwa aku yang menyuruhnya bermalam.
"Selamat pagi, aku siapkan makanan di meja makan. Mari makan bersama", katanya sopan dan lembut.
Aku hanya menurut.
Setelah sarapan dengan menu yang tak pernah ku cicipi sebelumnya, aku memutuskan untuk mengajaknya berkeliling, berjalan menyusuri jalanan sepi yang nyaris tak berpenghuni di kawasan rumahku.
"Sebenarnya, apa yang ingin kau lakukan?"
"Maksudmu?"
"Ya, apa tujuanmu datang kemari?"
"Aku tak bertujuan, aku hanya mengikuti kemana kaki ku melangkah, mencoba hal baru yang tak pernah ku dapatkan di dalam kerajaan."
"Bukankah kau anak seorang raja dan kau bisa mendapatkan apapun yang kau mau?"
"Tak semudah dan seindah itu, aku tak pernah merasakan kebahagiaan yang ku mau."
"Memangnya kebahagiaan apa yang ingin kau dapatkan?"
"Semua hal yang orang lain bisa melakukannya dengan bebas dan belum ku lakukan."
"Kau boleh membuat daftar tentang segala keinginanmu, mungkin aku bisa membantumu untuk mengabulkannya satu persatu."
"Benarkah?"
Aku hanya tersenyum.
"Mengapa kau mau membantuku?"
"Karena aku tahu bagaimana rasanya tak mendapat kebahagiaan."
"Kau merasakannya?"
"Tak sepenuhnya. Namun aku tak pernah mendapat kebahagiaan untuk berinteraksi secara menyenangkan kepada orang lain, tempat ini terlalu sepi untuk dijadikan rumah berkumpul dan tertawa bersama."
"Lalu mengapa tak pindah tempat?"
"Karena itu takkan berpengaruh terhadap apapun."
"Jika kau katakan tempat ini sepi, maka pindahlah ke tempat yang sekiranya ramai. Agar kau bisa merasakan apa yang kau inginkan."
"Tetap tak bisa, bukan itu masalahnya."
"Lantas?"
"Kemanapun aku berpindah, aku akan tetap merasakan sepi yang sama. Kesalahan bukan terletak pada tempatnya, namun pada diriku. Aku yang tak pernah membuka hati, pikiran, dan suaraku terhadap orang lain."
Ia hanya terdiam, menatapku dalam seolah meminta penjelasan yang lebih rinci.
"Aku tak bisa membuka diriku terhadap orang lain. Aku bisa saja bertegur sapa, tapi tidak untuk berbicara lama atau bertukar pikiran. Sepi itu ada dalam diriku. Aku tak akan pernah bisa pergi darinya."
"Mengapa?"
"Entahlah. Mungkin aku terlalu lama mencintai kesendirianku."
"Lalu mengapa kau menerimaku masuk ke dalam hidupmu?"
"Aku pun tak mengerti. Aku hanya merasa aku ingin menyampaikan apa yang selama ini hanya bisa ku tulis. Dan aku bertemu kamu yang mau mendengarkanku."
"Kau percaya padaku? Orang yang baru kau kenal dalam satu hari?"
"Aku pernah mengenal seseorang dan mendalami hidupnya hingga bertahun-tahun. Namun bukan dia orangnya. Tetap tak bisa. Dan aku belajar, ketika aku melihat lebih dekat, dari jarak yang paling dekat, justru pada saat itulah aku tak melihat apapun. Lalu aku belajar untuk tak lagi melihat segala sesuatu dengan teropong yang begitu dekat."
"Aku akan jadi sahabatmu."
"Ku harap begitu."
"Apa kau pikir ini terlalu cepat?"
"Tak ada ukuran terlalu cepat atau terlalu lambat dalam mengenal seseorang."
"Terimakasih."
"Aku melakukannya dengan senang hati."
Dan mulai detik itu, semuanya berubah, Aku merasa hidupku tak pernah seindah ini, tak pernah berwarna seperti ini. Aku bisa merasakan sesuatu mengguncang hatiku. Membuatku tak berhenti menceritakan sejarah hidupku dan mendengarkan semua isi hatinya. Setiap hari. Dia menjadi pendengar dan pemberi solusi terbaik dalam hidupku. Sempat terpikir dalam benak, 'mengapa ia tidak pulang?'. Namun aku tak menanyakannya, karena aku tahu betul, yang aku inginkan adalah berada di dekatnya. Hingga tak terasa, ratusan hari telah terlewati bersama. Tepatnya 475 hari.
"Andai bisa selamanya seperti ini." katanya tiba-tiba saat kami sedang duduk berselimut di dalam kamar sambil melihat ke arah jendela yang mulai basah karena hujan menyerbunya pagi ini.
"Apa maksudmu?"
"Tidak.. Aku hanya membayangkan untuk menghabiskan waktu dengan cara setenang ini. Tanpa rasa gaduh atau aturan-aturan konyol yang aku dapatkan ditempatku dulu."
"Jika kau mau, kau bisa mengabulkannya."
"Kau tahu? Aku selalu berharap bisa menghabiskan setiap detikku untuk menatap hujan ketika ia turun. Aku tak pernah merasa risih atau terganggu ketika setiap titik air membasahiku. Bahkan rasanya, aku tak keberatan jika harus bersakit karenanya."
"Aku suka hujan."
"Mengapa?"
"Karena setiap aku menikmatinya, kesejukan selalu menghampiriku. Aku mendapatkan ketenangan yang luar biasa. Meski kadang sepi semakin terasa ketika hujan turun, tapi aku menikmatinya."
"Aku pun begitu."
"Aku senang melewati musim hujan kedua bersamamu."
"Jika saja bisa selalu seperti ini, tak akan ada yang lebih indah dari menghabiskan waktu denganmu."
Aku hanya tersenyum mendengar kata terakhirnya. Dia memelukku erat. Aku pun tak mengelak, aku hanya membiarkan tubuhku menikmati kehangatan dalam peluknya.
Tuhan, jika saja aku bisa melewati hari-hari seperti ini.. Menghabiskan seluruh sisa umurku bersamanya seperti yang dia katakan, dan dengan seizinmu, aku akan sungguh berterimakasih kepadamu.
Sudah dua setengah tahun lamanya kami tinggal dalam satu atap, menjalin kasih yang tak terhingga banyaknya. Meski ia tak pernah mengatakan langsung bahwa ia mencintaiku, namun aku sungguh yakin. Karena ia memperlakukanku bak seorang puteri yang sangat berharga. Bahkan dengan tak segan ia memanggilku puteri, mengajakku berdansa mengikuti alunan musik yang mengusir heningnya keadaan.
Waktu terus berlalu..
Sampai pada saat aku terbangun di satu pagi, aku pun menyadari satu keanehan.
Ia tak ada disampingku.
Aku mencarinya ke seluruh ruangan, tapi aku tak mendapatinya dimanapun.
Aku berteriak sekeras mungkin memanggil namanya, namun tak ada suara yang menjawab.
Aku terus berusaha tenang, mengatur nafasku yang mulai terengah karena menangis. Dadaku mulai sesak.
Aku pun berlari menghambur keluar rumah, mencarinya ke rumah-rumah lain.
Mencarinya kemanapun, hingga ke kota. Namun tetap tak ku dapati sosoknya.
Lalu aku bergumam dalam hati, apakah memang ia tak pernah ada? Apakah sekian tahun yang ku lewati belakangan ini hanyalah mimpi?
Aku kembali ke rumahku masih dengan tangis.
Aku melihat bajunya yang ia tinggalkan tergantung di lemari, dan aku menyadari bahwa ia bukan hanya sekedar mimpi.
Lalu kemanakah ia pergi? Mengapa ia meninggalkanku?
Hanya pertanyaan itu yang terus menerus menghantuiku, membuatku semakin gelisah melewati setiap detiknya.
Aku terus menunggu, menanti jawab atas pertanyaanku.
Semua orang yang melewati teras rumahku selalu bertanya kepadaku tentang apa yang terjadi, mengapa aku terlihat begitu murung dan tak bersemangat.
Mereka yang tak pernah berkunjung kerumahku, terus berdatangan untuk memberiku makanan yang selalu berakhir di tempat sampah, dan ada beberapa yang rela datang hanya untuk menemaniku.
Mereka tahu bagaimana aku merasa kehilangan.
Aku yang tak mereka kenal, yang selalu mengurung diri dalam kamar kecilku, yang selama beberapa tahun belakangan ini menjadi sangat periang dan mengenal mereka semua berkat seorang pangeran, mereka menyaksikanku hancur.
Kini aku menyadari, tak perlu menjadi terlalu hebat untuk dikenal banyak orang, hancur seperti inipun aku dikenal oleh seluruh isi desa bahkan hingga ke kota.
Entah pernyataan seperti apa yang kini bersarang di otakku hingga membuatku seperti tak lagi tahu rasanya malu.
Aku hanya terus menantinya kembali, disetiap hari sepanjang tahun. Aku terus duduk di teras ini menunggunya kembali.
Aku ingin menyambutnya dengan senyum paling tulus yang ku punya ketika ia kembali. Tak peduli seberapa sakitnya aku karena dia tinggalkan, aku akan tetap menerimanya kembali.
Ini semua salahku.
Mungkin ia bosan padaku, mungkin ia merasa bahwa aku tak mencintainya karena aku tak pernah mengatakan apapun padanya.
Aku yang salah, aku tak mampu membuatnya bertahan.
Tuhan.. beri aku satu kesempatan lagi dan aku berjanji akan mengerahkan segala kemampuanku untuk membuatnya tak ingin pergi lagi..
Aku hanya terus menunggu. Yang aku lakukan disetiap hariku hanyalah melihat matahari terbit hingga tenggelam, menatapi bulan dan bintang, serta menikmati hujan dalam penantianku.
Banyak orang yang mulai menyuruhku melupakannya. Berkata bahwa ia takkan kembali lagi kepadaku, berkata bahwa ia tak sebaik yang ku pikirkan, berkata bahwa masih banyak pangeran lain yang mencintaiku secara diam-diam lebih dari yang ia pernah lakukan.
Namun aku menepis semua perkataan mereka. Aku terus membela seolah ia adalah satu-satunya orang paling benar yang ku kenal.
Aku tahu betul aku bisa melakukan yang lebih baik dari ini. Aku tahu betul bahwa aku bisa berhenti menunggunya dan berpaling pada orang lain. Aku tahu betul bahwa aku bisa menutup buku dan memberhentikan ceritaku tentangnya.
Namun, penulis mana yang mau menulis tanpa kisah akhir? Pembaca mana yang mau membeli buku yang tak ada kisah akhirnya?
Atau mungkin memang ini sudah akhirnya? Namun mengapa semua ini berakhir tanpa satu patah katapun?
Aku hanya enggan memulai dengan yang baru. Karena untuk segala sesuatu yang baru, aku harus beradaptasi menyesuaikan diriku.
Aku terlalu malas untuk mencari orang baru, jatuh cinta, berkorban, dan menaruh harap penuh pada orang baru. Aku sungguh takut untuk melakukannya.
Karena, siapa yang bisa menjamin bahwa orang baru akan lebih baik dari pangeranku?
Aku bahkan tak peduli bahwa aku mendapat julukan puteri keras hati karena tak mau mendengar semua kata-kata orang di sekitarku.
Aku hanya menikmati ini. Jika mereka bilang ini semua adalah pembodohan, maka aku hanya akan menikmati kebodohan ini.
Menunggu ia kembali meski rasanya itu takkan lagi mungkin terjadi.
Aku tak pernah tahu kabarnya, aku tak tahu entah diluar sana ia sudah menjalin cinta dengan puteri yang lain.
Aku memang tak punya pacuan apapun untuk dijadikan tombak keyakinanku.
Namun aku selalu yakin, Tuhan pasti melihat usaha seseorang, sekecil apapun itu.
Jika memang bukan dirimu orangnya, jika memang bukan kamu pangeranku, biarlah waktu yang menghapus namamu perlahan dari hati dan otakku, serta dengan seizin Tuhan.
Dan untuk saat ini, biarkan aku menantimu lebih lama dan merasakan rindu ini hingga terbunuh oleh waktu.
Lalu aku dengar seseorang mengetuk pintuku, dan sesaat setelah aku membukakan pintu, ku dengar satu suara menyapaku.
"Halo, aku pangeran dari negeri yang sangat amat jauh jaraknya dari sini. Aku sedang berjalan sendirian dan melihat rumah ini, aku pikir tak ada orang, karena disini sepi sekali, namun untuk memastikan maka aku mengetuk pintu. Ternyata ada orang di dalamnya." katanya menjelaskan dengan lugas, suaranya terdengar lembut dan nyaring di telingaku.
"Apa maumu kemari?" jawabku tegas, tak ingin terlarut dalam indah begitu saja.
"Boleh aku beristirahat sebentar disini?"
"Masuklah."
Entah apa yang terjadi, aku merasa luluh.
"Mau aku buatkan teh?"
"Jika tidak keberatan."
Aku pun kembali dengan secangkir teh di tanganku. Dia masih duduk di kursinya dengan tatapan menelusuri setiap sudut dirumahku. Namun aku tak bertanya, aku hanya membiarkannya mencari tahu apa yang ia inginkan.
Hari semakin malam, dan aku pun tak tega untuk menyuruh ia pergi menyusuri jalan yang aku tahu pasti diluar sangat sepi. Akhirnya aku membiarkannya terlelap di kamar yang bersebelahan dengan kamarku, di kamar yang tak pernah ditempati oleh siapapun. Jelas saja tak pernah ditempati, rumah ini hanya aku isinya, tak ada orang lain kecuali aku, bahkan aku sendiri pun tak mengerti mengapa aku membuat dua kamar di rumah yang hanya ada satu penghuninya.
Kami terlelap di kamar kami masing-masing. Aku masih dengan pikiranku yang menyelidiki.
Aku terbangun, mendengar suara yang menyuruhku untuk segera bangun. Biasanya, tak akan ada yang membangunkanku.
Ia terduduk di sudut kasurku. Aku pun segera bangun, menatapnya perlahan, mencerna agar aku tak memarahinya karena lupa bahwa aku yang menyuruhnya bermalam.
"Selamat pagi, aku siapkan makanan di meja makan. Mari makan bersama", katanya sopan dan lembut.
Aku hanya menurut.
Setelah sarapan dengan menu yang tak pernah ku cicipi sebelumnya, aku memutuskan untuk mengajaknya berkeliling, berjalan menyusuri jalanan sepi yang nyaris tak berpenghuni di kawasan rumahku.
"Sebenarnya, apa yang ingin kau lakukan?"
"Maksudmu?"
"Ya, apa tujuanmu datang kemari?"
"Aku tak bertujuan, aku hanya mengikuti kemana kaki ku melangkah, mencoba hal baru yang tak pernah ku dapatkan di dalam kerajaan."
"Bukankah kau anak seorang raja dan kau bisa mendapatkan apapun yang kau mau?"
"Tak semudah dan seindah itu, aku tak pernah merasakan kebahagiaan yang ku mau."
"Memangnya kebahagiaan apa yang ingin kau dapatkan?"
"Semua hal yang orang lain bisa melakukannya dengan bebas dan belum ku lakukan."
"Kau boleh membuat daftar tentang segala keinginanmu, mungkin aku bisa membantumu untuk mengabulkannya satu persatu."
"Benarkah?"
Aku hanya tersenyum.
"Mengapa kau mau membantuku?"
"Karena aku tahu bagaimana rasanya tak mendapat kebahagiaan."
"Kau merasakannya?"
"Tak sepenuhnya. Namun aku tak pernah mendapat kebahagiaan untuk berinteraksi secara menyenangkan kepada orang lain, tempat ini terlalu sepi untuk dijadikan rumah berkumpul dan tertawa bersama."
"Lalu mengapa tak pindah tempat?"
"Karena itu takkan berpengaruh terhadap apapun."
"Jika kau katakan tempat ini sepi, maka pindahlah ke tempat yang sekiranya ramai. Agar kau bisa merasakan apa yang kau inginkan."
"Tetap tak bisa, bukan itu masalahnya."
"Lantas?"
"Kemanapun aku berpindah, aku akan tetap merasakan sepi yang sama. Kesalahan bukan terletak pada tempatnya, namun pada diriku. Aku yang tak pernah membuka hati, pikiran, dan suaraku terhadap orang lain."
Ia hanya terdiam, menatapku dalam seolah meminta penjelasan yang lebih rinci.
"Aku tak bisa membuka diriku terhadap orang lain. Aku bisa saja bertegur sapa, tapi tidak untuk berbicara lama atau bertukar pikiran. Sepi itu ada dalam diriku. Aku tak akan pernah bisa pergi darinya."
"Mengapa?"
"Entahlah. Mungkin aku terlalu lama mencintai kesendirianku."
"Lalu mengapa kau menerimaku masuk ke dalam hidupmu?"
"Aku pun tak mengerti. Aku hanya merasa aku ingin menyampaikan apa yang selama ini hanya bisa ku tulis. Dan aku bertemu kamu yang mau mendengarkanku."
"Kau percaya padaku? Orang yang baru kau kenal dalam satu hari?"
"Aku pernah mengenal seseorang dan mendalami hidupnya hingga bertahun-tahun. Namun bukan dia orangnya. Tetap tak bisa. Dan aku belajar, ketika aku melihat lebih dekat, dari jarak yang paling dekat, justru pada saat itulah aku tak melihat apapun. Lalu aku belajar untuk tak lagi melihat segala sesuatu dengan teropong yang begitu dekat."
"Aku akan jadi sahabatmu."
"Ku harap begitu."
"Apa kau pikir ini terlalu cepat?"
"Tak ada ukuran terlalu cepat atau terlalu lambat dalam mengenal seseorang."
"Terimakasih."
"Aku melakukannya dengan senang hati."
Dan mulai detik itu, semuanya berubah, Aku merasa hidupku tak pernah seindah ini, tak pernah berwarna seperti ini. Aku bisa merasakan sesuatu mengguncang hatiku. Membuatku tak berhenti menceritakan sejarah hidupku dan mendengarkan semua isi hatinya. Setiap hari. Dia menjadi pendengar dan pemberi solusi terbaik dalam hidupku. Sempat terpikir dalam benak, 'mengapa ia tidak pulang?'. Namun aku tak menanyakannya, karena aku tahu betul, yang aku inginkan adalah berada di dekatnya. Hingga tak terasa, ratusan hari telah terlewati bersama. Tepatnya 475 hari.
"Andai bisa selamanya seperti ini." katanya tiba-tiba saat kami sedang duduk berselimut di dalam kamar sambil melihat ke arah jendela yang mulai basah karena hujan menyerbunya pagi ini.
"Apa maksudmu?"
"Tidak.. Aku hanya membayangkan untuk menghabiskan waktu dengan cara setenang ini. Tanpa rasa gaduh atau aturan-aturan konyol yang aku dapatkan ditempatku dulu."
"Jika kau mau, kau bisa mengabulkannya."
"Kau tahu? Aku selalu berharap bisa menghabiskan setiap detikku untuk menatap hujan ketika ia turun. Aku tak pernah merasa risih atau terganggu ketika setiap titik air membasahiku. Bahkan rasanya, aku tak keberatan jika harus bersakit karenanya."
"Aku suka hujan."
"Mengapa?"
"Karena setiap aku menikmatinya, kesejukan selalu menghampiriku. Aku mendapatkan ketenangan yang luar biasa. Meski kadang sepi semakin terasa ketika hujan turun, tapi aku menikmatinya."
"Aku pun begitu."
"Aku senang melewati musim hujan kedua bersamamu."
"Jika saja bisa selalu seperti ini, tak akan ada yang lebih indah dari menghabiskan waktu denganmu."
Aku hanya tersenyum mendengar kata terakhirnya. Dia memelukku erat. Aku pun tak mengelak, aku hanya membiarkan tubuhku menikmati kehangatan dalam peluknya.
Tuhan, jika saja aku bisa melewati hari-hari seperti ini.. Menghabiskan seluruh sisa umurku bersamanya seperti yang dia katakan, dan dengan seizinmu, aku akan sungguh berterimakasih kepadamu.
Sudah dua setengah tahun lamanya kami tinggal dalam satu atap, menjalin kasih yang tak terhingga banyaknya. Meski ia tak pernah mengatakan langsung bahwa ia mencintaiku, namun aku sungguh yakin. Karena ia memperlakukanku bak seorang puteri yang sangat berharga. Bahkan dengan tak segan ia memanggilku puteri, mengajakku berdansa mengikuti alunan musik yang mengusir heningnya keadaan.
Waktu terus berlalu..
Sampai pada saat aku terbangun di satu pagi, aku pun menyadari satu keanehan.
Ia tak ada disampingku.
Aku mencarinya ke seluruh ruangan, tapi aku tak mendapatinya dimanapun.
Aku berteriak sekeras mungkin memanggil namanya, namun tak ada suara yang menjawab.
Aku terus berusaha tenang, mengatur nafasku yang mulai terengah karena menangis. Dadaku mulai sesak.
Aku pun berlari menghambur keluar rumah, mencarinya ke rumah-rumah lain.
Mencarinya kemanapun, hingga ke kota. Namun tetap tak ku dapati sosoknya.
Lalu aku bergumam dalam hati, apakah memang ia tak pernah ada? Apakah sekian tahun yang ku lewati belakangan ini hanyalah mimpi?
Aku kembali ke rumahku masih dengan tangis.
Aku melihat bajunya yang ia tinggalkan tergantung di lemari, dan aku menyadari bahwa ia bukan hanya sekedar mimpi.
Lalu kemanakah ia pergi? Mengapa ia meninggalkanku?
Hanya pertanyaan itu yang terus menerus menghantuiku, membuatku semakin gelisah melewati setiap detiknya.
Aku terus menunggu, menanti jawab atas pertanyaanku.
Semua orang yang melewati teras rumahku selalu bertanya kepadaku tentang apa yang terjadi, mengapa aku terlihat begitu murung dan tak bersemangat.
Mereka yang tak pernah berkunjung kerumahku, terus berdatangan untuk memberiku makanan yang selalu berakhir di tempat sampah, dan ada beberapa yang rela datang hanya untuk menemaniku.
Mereka tahu bagaimana aku merasa kehilangan.
Aku yang tak mereka kenal, yang selalu mengurung diri dalam kamar kecilku, yang selama beberapa tahun belakangan ini menjadi sangat periang dan mengenal mereka semua berkat seorang pangeran, mereka menyaksikanku hancur.
Kini aku menyadari, tak perlu menjadi terlalu hebat untuk dikenal banyak orang, hancur seperti inipun aku dikenal oleh seluruh isi desa bahkan hingga ke kota.
Entah pernyataan seperti apa yang kini bersarang di otakku hingga membuatku seperti tak lagi tahu rasanya malu.
Aku hanya terus menantinya kembali, disetiap hari sepanjang tahun. Aku terus duduk di teras ini menunggunya kembali.
Aku ingin menyambutnya dengan senyum paling tulus yang ku punya ketika ia kembali. Tak peduli seberapa sakitnya aku karena dia tinggalkan, aku akan tetap menerimanya kembali.
Ini semua salahku.
Mungkin ia bosan padaku, mungkin ia merasa bahwa aku tak mencintainya karena aku tak pernah mengatakan apapun padanya.
Aku yang salah, aku tak mampu membuatnya bertahan.
Tuhan.. beri aku satu kesempatan lagi dan aku berjanji akan mengerahkan segala kemampuanku untuk membuatnya tak ingin pergi lagi..
Aku hanya terus menunggu. Yang aku lakukan disetiap hariku hanyalah melihat matahari terbit hingga tenggelam, menatapi bulan dan bintang, serta menikmati hujan dalam penantianku.
Banyak orang yang mulai menyuruhku melupakannya. Berkata bahwa ia takkan kembali lagi kepadaku, berkata bahwa ia tak sebaik yang ku pikirkan, berkata bahwa masih banyak pangeran lain yang mencintaiku secara diam-diam lebih dari yang ia pernah lakukan.
Namun aku menepis semua perkataan mereka. Aku terus membela seolah ia adalah satu-satunya orang paling benar yang ku kenal.
Aku tahu betul aku bisa melakukan yang lebih baik dari ini. Aku tahu betul bahwa aku bisa berhenti menunggunya dan berpaling pada orang lain. Aku tahu betul bahwa aku bisa menutup buku dan memberhentikan ceritaku tentangnya.
Namun, penulis mana yang mau menulis tanpa kisah akhir? Pembaca mana yang mau membeli buku yang tak ada kisah akhirnya?
Atau mungkin memang ini sudah akhirnya? Namun mengapa semua ini berakhir tanpa satu patah katapun?
Aku hanya enggan memulai dengan yang baru. Karena untuk segala sesuatu yang baru, aku harus beradaptasi menyesuaikan diriku.
Aku terlalu malas untuk mencari orang baru, jatuh cinta, berkorban, dan menaruh harap penuh pada orang baru. Aku sungguh takut untuk melakukannya.
Karena, siapa yang bisa menjamin bahwa orang baru akan lebih baik dari pangeranku?
Aku bahkan tak peduli bahwa aku mendapat julukan puteri keras hati karena tak mau mendengar semua kata-kata orang di sekitarku.
Aku hanya menikmati ini. Jika mereka bilang ini semua adalah pembodohan, maka aku hanya akan menikmati kebodohan ini.
Menunggu ia kembali meski rasanya itu takkan lagi mungkin terjadi.
Aku tak pernah tahu kabarnya, aku tak tahu entah diluar sana ia sudah menjalin cinta dengan puteri yang lain.
Aku memang tak punya pacuan apapun untuk dijadikan tombak keyakinanku.
Namun aku selalu yakin, Tuhan pasti melihat usaha seseorang, sekecil apapun itu.
Jika memang bukan dirimu orangnya, jika memang bukan kamu pangeranku, biarlah waktu yang menghapus namamu perlahan dari hati dan otakku, serta dengan seizin Tuhan.
Dan untuk saat ini, biarkan aku menantimu lebih lama dan merasakan rindu ini hingga terbunuh oleh waktu.
Comments
Post a Comment