Satu.

Menulis entah untuk apa. Menangis entah karena apa.

Berharap sesuatu terjadi dan mengubahkan hidupku, sesuatu yang keadaannya jauh lebih baik dari yang ada sekarang. Namun rasanya memang tak terlalu penting untuk berharap, karena aku tahu jawabannya. Tidak, kebahagiaan itu tidak hadir sekarang, atau mungkin tidak akan hadir.
Sejujurnya aku lelah menghadapi semua, semua keadaan yang selalu membuatku muak namun tak pernah bisa ku hentikan. Aku merasa sangat bodoh mengharapkan keajaiban datang dalam hidupku dan sesaat kemudian aku tersadar bahwa keajaiban itu tak pernah beripihak padaku.
Entah apa yang merasuk dalam hati ini, seperti dihujam ribuan pedang es yang menusuk kemudian membekukan hati ini. Tertusuk saat mengetahui bahwa kau tak mencintaiku, dan beku terhadap semua orang yang mendekatiku. Namun aku tak dapat berbuat banyak untuk menghindar dari semua kenyataan yang ada, dan pada akhirnya aku mulai terbiasa atau lebih tepatnya aku dipaksa untuk mulai terbiasa dengan keadaan ini. Keadaan yang semakin membuatku merasa letih dan membuat setiap hembusan nafasku menjadi lebih berat.
Aku hampir putus asa. Tapi untuk apa? Pikirku sejenak. Dan kemudian aku hatiku bertengkar dengan pikiranku sendiri. Si Hati yang terus berpikir bahwa aku sudah disiapkan kejutan bahagia pada akhir cerita, dan Si Pikiran yang terus berkata bahwa keajaiban itu takkan pernah ada.
Entah apa yang menggoyahkan aku untuk lebih berpikir realistis dan lebih mendengarkan kata Si Pikiran. Sesuatu telah terjadi padaku, sesuatu yang tak biasa. Sesuatu yang selalu menggangguku. Sesuatu yang tak bisa ku deskripsikan, namun selalu ku pikirkan. Dan sesuatu itu adalah.. kamu.

Comments

Popular Posts