Senja

Kota ini penuh sesak, ramai oleh tumpukan udara kotor yang berhembus sore ini.
Berdiri diantara ratusan orang yang melintas lalu-lalang di sekitarku, sementara aku hanya diam ditempatku seolah enggan untuk melangkahkan kaki.
Aku suka tempat ini.
Dari sini aku bisa melihat senja dengan begitu jelasnya.
Meski disini terlalu ramai untuk menikmati senja dan heningku, namun aku selalu suka tempat ini.
Tak perlu heran melihatku seniat ini hanya untuk berburu senja.
Aku sudah terbiasa bahkan sangat terbiasa berlari mengejar senjaku.
Semenjak kamu pergi, rasanya senja ini berbeda.
Meski aku tak pernah secara langsung melewati senjaku berdua denganmu, namun aku pernah berdoa dengan sangat meminta agar Tuhan sudi untuk mempertemukan kita pada satu senja suatu hari nanti.
Namun apa daya, rasanya sangat sulit untuk menerima bahwa kita tak akan pernah bisa melewatinya.
Kamu bisa. Namun bukan aku orangnya, tetapi dia.
Meski begitu, senja kita akan tetap sama, bukan?
Senja tetaplah senja.
Langit akan tetap berwarna oranye ketika senja tiba.
Yang berbeda hanyalah cara kita menikmatinya.
Senja yang selalu aku lihat dari sudut kota Jakarta, hanya mampu ku nikmati sendiri dan selalu mampu membawaku hanyut dalam rinduku.
Senja yang kini kamu lewati berdua bersamanya.
Nikmati saja jika memang ini adanya.
Meski setiap senja tiba aku kerap menutup mataku dan berkata-kata dalam hati agar Tuhan akan mengembalikanmu kepadaku di suatu senja nanti.
Dan meski rasanya harapan itu terlalu mengada-ada.
Semoga Tuhan tak bosan dengan harapanku yang satu itu, karena tak ada yang lebih menyakitkan dari melihatnya menggantikan aku menjadi senjamu..

Comments

Popular Posts