Empat belas.

Hai, mengapa hanya diam? Mengapa tak berkata-kata?
Jawaban itu antara iya atau tidak. Diam bukan jawaban. Diam bisa berarti iya ataupun tidak.
Lalu mengapa tak bisa hanya untuk sekedar menegaskan iya atau tidaknya?
Tidak, aku tidak memaksa.
Namun harusnya kau tahu, setiap detik yang aku lewatkan untuk menunggumu kini terasa semakin mengiris.
Alasannya satu, karena kau tak lagi menemaniku menunggu.
Aku benci mengatakan ini, namun ya, aku kehilanganmu.
Jika kau diam karena tak ingin menyakitiku, bukankah dengan kau diam justru lebih menyakitiku?
Kau membuatku lebih lama menunggu. Aku akan berada disini lebih lama lagi, di zona abu-abu tempatku menunggumu.
Aku berada disini sendiri, disini penuh ketidakpastian, mengapa kau tidak menemaniku? Mengapa kau meninggalkanku?
Inginku adalah melupakanmu, namun hati ini selalu menolak untuk melakukannya. Ia tak bisa.
Angin pagi yang aku hirup pagi ini pun tahu betapa gelisahnya hatiku. Embun pagi pun mengerti betapa lelahnya hatiku.
Sebenarnya aku tak pernah merasa lelah, namun belakangan ini sesuatu seperti memaksaku berhenti, membuatku merasakan lelah itu.
Malam tadi, entah untuk yang ke berapa kali, kau hadir di mimpiku lagi.
Apakah ini pertanda? Tapi pertanda untuk apa?
Aku tidak berharap mendapat pertanda. Aku berharap mendapatkan jawaban, jawaban atas segala penantianku. Bukankah itu tidak sulit?
Jauh lebih baik jika aku mendengar kau tidak mencintaiku langsung ditelingaku dibanding aku harus kehilanganmu dengan semua tanya yang belum terjawab seperti ini..

Comments

Popular Posts