Enam Belas.


Aku dan tembok itu.
Tembok itu tak terlihat. Namun ia ada.
Tembok itu bahkan sudah berdiri kokoh sejak lama disana, dihatiku.
Tembok yang membatasiku dengan banyak orang. Tembok yang tak memperbolehkan orang lain masuk ke dalam, kecuali kamu.
Beberapa orang pernah mencoba untuk meruntuhkannya, mendorongnya sekuat tenaga dengan segala perbuatan dan perkataan manis mereka.
Namun, tembok itu bahkan tak bergerak sedikitpun.
Ia tetap berdiri tegak, siap untuk menjadi pembatas jika ada orang yang datang dan orang itu bukan kamu.
Ia berdiri, menunggu dengan sabar. Menanti seseorang yang telah lama pergi membawa kuncinya, kembali datang untuk membukakannya lagi.
Terkadang sahabat Tembok yang bernama Otak, menyuruhnya berhenti menunggu orang itu dan mencoba untuk mencari orang baru yang bisa membukakan pintunya lagi.
Namun tidak, tembok itu tetap pada tempatnya. Tetap menanti orang yang sama. Tetap mengunci dirinya untuk orang lain.
“Hai orang  yang ku tunggu, mengapa tak datang dengan cepat? Mengapa tak berlari membawa kunci itu? Aku sudah terlalu lama terkunci. Jangan buat aku berkarat dan tak bisa terbuka lagi. Berlarilah dengan cepat kemari.” 

Comments

Popular Posts